Pasukan bebek menyerbu kota-kota besar, termasuk Jakarta. Lidah orang kota pun berpesta rasa dimanjakan bebek-bebek dari desa.
Oleh: Aloysius B Kurniawan dan Cokorda YudhistiraMari
kita icip-icip lezatnya daging bebek di sejumlah tempat makan di
Jakarta dan sekitarnya. Kita sambangi Warung Bebek Kaleyo di Taman
Menteng Bintaro Sektor 7. Beragam menu bebek ditawarkan dalam suasana
resto yang lapang, dengan perabot kayu yang tak berjejalan, dipadu
arsitektur bangunan resto yang modern.
Dari banyaknya pilihan
menyantap bebek, bebek goreng kremes boleh jadi pilihan pertama karena
disuguhkan terpisah dari sambalnya. Begitu terhidang, bebek goreng
kremes di atas piring berlapis selembar daun pisang itu langsung menebar
aroma gurih. Imbuhannya, daun kemangi dan potongan timun.
Serat
dan otot daging yang menempel di tulang dada tergoreng garing, renyah
yang gurih, namun daging bebeknya tergigit lunak tanpa berlemak. Sambal
untuk menu itu sambal beraroma bawang boleh diimbuhkan sesuka hati, dan
pedasnya pun cukup menyengat buat yang menyukai rasa pedas. Sambal
hijaunya tersaji tanpa minyak, dan pedas khas oleh bau cabai hijau yang
memompa lapar. Kalau sambal hijaunya tak cukup, sambal beraroma bawang
pun boleh diimbuhkan.
Kita pindah ke warung Nasi Bebek Mak Isa di
Jakarta Timur. Di warung yang dirintis Aisyah mulai tahun 1990 ini Anda
bakal berpeluh saat menyantap daging bebek, yang gurih-gurih hangat
berpadu dengan sambal nan pedas. Selain daging bebek pilihan, sambal
pendampingnya memang menjadi andalan hidangan. Nasi Bebek Mak Isa
menggunakan bebek lokal. ”Kami dipasok lima pedagang berbeda,” kata M
Umar (38), putra sulung Hj Aisyah atau yang terkenal sebagai Mak Isa,
pemilik warung.
Setiap hari warung Nasi Bebek Mak Isa
menghabiskan tak kurang dari 400 ekor bebek yang diolah menjadi daging
bebek yang gurih. Untuk melengkapi daging bebek, warung menghabiskan 200
kilogram beras dan 30 kilogram cabai untuk sambal. Apa resep kelezatan
bebek Mak Isa? Ia menggunakan bebek segar yang baru disembelih, bukan
bebek yang dibekukan.
Bebek memang bisa diolah dengan beragam
sajian dan rasa. Tentu hal itu dimaksud untuk meladeni selera konsumen
yang beragam pula. Bagi Anda yang ingin menikmati olahan daging bebek,
tidak hanya sekadar menu santapan serius, tetapi juga sebagai menu
camilan, misalnya lumpia bebek dan pangsit bebek, Warung Yu’ Tien di
Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, menyediakan camilan dan juga menu
santapan berbahan daging bebek.
Menyerbu dan menyebarJakarta
memang termasuk ”miskin” dalam urusan peritikan. Data dari Direktorat
Jenderal Peternakan mencatat jumlah populasi itik di DKI Jakarta tahun
2013 ”hanya” 23.244 ekor. Sangat kecil dibandingkan dengan jumlah total
populasi itik di 33 provinsi yang mencapai 46.312.661 ekor.
Untunglah
ada serbuan bebek dari daerah yang termasuk subur dalam budidaya
perbebekan. Jawa Barat, misalnya, menjadi penghasil bebek yang
terbanyak, yaitu 8.943.189 ekor. Kemudian Jawa Tengah dengan 5.713.260
ekor dan Jawa Timur 4.001.671 ekor.
Bebek-bebek daerah itulah yang menggoda selera kaum urban kota besar.
Pasukan bebek menyebar ke berbagai penjuru kota. Usaha Bebek Goreng H
Slamet yang dulu hanya buka di Kartasura, Sukoharjo, di sebelah barat
Kota Solo, Jawa Tengah, kini telah menjangkau ke Solo, Yogyakarta,
Malang, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Tak kurang dari 20 cabang
tersebar di kota-kota tersebut.
Bebek Kaleyo, selain di Jakarta,
juga menyebar Bekasi, dan Tangerang. Untuk itu setiap hari Bebek Kaleyo
mengolah sekitar 1.000 ekor bebek. Hendri Prabowo, pemilik Bebek Kaleyo,
menjelaskan, bebek-bebek itu disodorkan ke konsumen di berbagai pelosok
Jabodetabek setelah dibumbui, kemudian diungkep selama beberapa jam.
”Kami
menghabiskan sampai delapan boks daging bebek per hari. Setiap boks
cukup untuk 200 porsi,” kata Joko Rinenggo, Area Manager Bebek Kaleyo
Cempaka Putih. Bahan daging bebek di Bebek Kaleyo menggunakan bebek
pedaging, yang dipasok dari luar daerah, seperti Brebes, Pemalang,
Tangerang, dan Bekasi.
Di Jakarta yang padat dan macet, pengelola
usaha makan berbasis bebek harus kreatif bersiasat. Salah satunya
adalah sistem pesan antar alias delivery yang ditempuh Nasi Bebek Ginyo
di bilangan Tebet Utara Dalam, Jakarta Selatan. Cukup dengan mengangkat
telepon, bebek-bebek lezat itu meluncur dengan lincahnya di antara
kemacetan kota dan langsung hadir ke depan rumah atau kantor Anda.
Minimal pesanan seharga Rp 200.000 plus biaya pengiriman Rp 10.000. Nasi
Bebek Ginyo mematok harga per paket Rp 23.000 untuk menu seperti bebek
goreng, bakar, balado, juga bebek kremes, dan bebek sambal ijo serta
bebek mercon nan mantap dengan rasa pedasnya.
Masuk malBebek
juga masuk mal-mal besar di Jakarta. Salah satunya adalah The Duck
King, sebuah resto bernuansa oriental. Pertama buka di Senayan Trade
Center (STC) pada awal 2003, kini The Duck King telah mempunyai tak
kurang dari 21 cabang di Jakarta dan sejumlah kota lain.
Cukup
laris. Erwin Agus, Asisten Manajer The Duck King, Senayan City, Jakarta,
menjelaskan, setiap hari resto berlogo bebek itu didatangi sekitar
300-400 orang. ”Kalau akhir pekan bisa mencapai 1.000 orang,” kata
Erwin. Jangan kaget, di akhir pekan atau hari libur, orang harus antre
demi sang bebek.
Dengan jumlah tamu tersebut, The Duck King
Senayan City menghabiskan 40 ekor bebek peking dalam sehari. Itu baru
satu cabang di Senayan City saja, belum lagi 20 cabang lainnya.
Di
The Duck King, bebek memang raja. Ia disajikan sebagai salah satunya,
roasted duck alias bebek panggang. Daging bebek juga dihidangkan dengan
cara dicincang dan ditumis dengan lotus. Tersaji pula dalam hidangan
berupa mi dengan daging bebek panggang.
Erwin menuturkan, seluruh
restoran The Duck King menggunakan daging bebek peking, yang
diternakkan di dalam negeri. ”Awalnya kami memakai bebek peking impor,
tetapi sekarang sudah ada penyuplai bebek peking lokal,” ujar Erwin.
MerakyatMenu
bebek memang sudah merakyat. Opor bebek, misalnya, sudah menjadi
santapan orang dari berbagai kalangan. Sampai-sampai Ki Hajar Dewantara
(1889-1959), Bapak Pendidikan dan pendiri Taman Siswa itu, dalam salah
satu ajarannya menggunakan idiom ”opor bebek”. Taman Siswa dalam
menyelenggarakan pendidikan menggunakan prinsip opor bebek, yaitu
swadaya, membiayai usaha sendiri dari usaha sendiri. Prinsip Ki Hajar
itu merujuk pada opor bebek yang diolah dengan minyak yang terkandung
dalam daging bebek itu sendiri.
Kemerakyatan menu bebek menyebar ke berbagai penjuru Nusantara.
Pemerhati dan praktisi kuliner William Wongso mencatat menu-menu unggul
berbasis bebek antara lain bebek aceh, bebek lado mudo di Ranah Minang,
Sumatera Barat, bebek bacem goreng ala Yogyakarta, serta bebek betutu
khas Bali.
”Saya tidak tahu siapa yang mengenalkan bebek ke Aceh
atau Padang karena saya tidak banyak menemukan bebek di Timur Tengah dan
India. Kalau di China, dari dulu mereka memang pemakan bebek,” kata
William.
Ia menambahkan, bebek semakin digemari karena cara
pengolahannya yang tepat sehingga sajian yang dihasilkan tidak berbau
amis atau prengus.
Diam-diam bebek-bebek yang berisik itu
benar-benar menangkap aspirasi rakyat di seantero negeri. Peternak,
pengangon bebek di desa-desa, para pengusaha warung penyaji menu bebek,
dan tentu saja para pelahap hidangan bebek, semuanya bahagia bersama
”partai bebek”. Kwek...wek...!
(DAY/ROW)
sumber : kompas